Oleh: Robic Ahsan
Entah sejak kapan tanah negeri ini ditumbuhi jamur Animisme dan Dinamisme yang begitu kuat.
Ketika masyarakat masih sangat kental memercayai betapa pohon-pohon, batu, sungai dan gunung, bersemayam roh.
Contohnya sampai saat ini, meski konon katanya sudah memasuki zaman post modern--zaman digital dan akal sehat, ternyata fakta manusia penjaga pohon dan tiang listrik tetap saja ada. Mereka adalah segelintir manusia yang gila jabatan. Baik yang cuma iseng adu nasib sebagai calon legislatif maupun bernafsu sebagai sosok wali kota.
Wajahnya kerap nongol setelah dimodifikasi menggunakan teknologi photoshop, yang laki-laki berpeci, yang perempuan berjilbab. Sepertinya mereka hendak menegaskan kepada masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol relegiusitas--Islam tulen. Tak jarang, para penjaga pohon itu juga mencatut gambar sejumlah tokoh besar macam Soekarno sang nasionalis legendaris itu. Ataupun mencatut sosok Gus Dur, sang kiai mbeling sekaligus mantan presiden RI dengan simbol ke-NU-an-nya.
Seolah-olah para penjaga pohon itu hendak menjebak masyarakat demi mendapatkan keuntungan pribadi. Tokoh-tokoh besar itupun dicatut demi mencuri simpati publik. Tapi, sepertinya kita tetap perlu memberi apresiasi dengan mengucapkan "selamat datang" wahai kaum kapitalis. Meski mereka tak jarang membuat perut mules dan juga merusak lingkungan tersebut. Bagaimana tidak, kota sudah terlalu kotor dengan adanya hutan reklame. Masih juga ditambahi fenomena sampah foto-foto penjaga pohon tersebut.
Tapi setidaknya itu bisa menghibur para pengendara jalanan yang terlalu cerewet seperti halnya saya. Memang, jujur saja seringkali memaki meski itu di dalam hati manakala melihat narsisnya foto-foto para penjaga pohon.
Sebab, fenomena berikutnya nanti adalah ketika para mantan penjaga pohon itu kemudian masuk daftar terdakwa korupsi di depan ruang persidangan. Di situ kadang saya merasa syedih.
Bagaimana tidak, saat mengenakan pakaian tahanan pun mereka tetap berpeci dan dengan sambil santai melambaikan tangan menyapa masyarakat Indonesia di depan kamera wartawan. Sepertinya itu memang lelucon di negeri katuliswa. Ada juga yang tidak terima ditetapkan tersangka, kemudian berdalih keadilan mengaku menjadi korban kriminalisasi.
Mungkin, akibat kelakuan manusia nakal itulah, generasi pemuda di negeri kaya ini mudah stres, terombang-ambing, sulit cari pekerjaan dan mudah galau tingkat nasional. Atau sebaliknya, kondisi itu membuat generasi cuek. Selama masih bisa merokok dan nongkrong di warung kopi, semua aman-aman saja. Kaum seperti ini memang mudah bahagia. Malah, berpikiran bahwa buat apa ada negara, kalau adanya negara hanya ngrepotin rakyat saja.
Buat apa ada istilah dewan perwakilan rakyat, kalau adanya dewan perwakilan rakyat hanya nyusahin rakyat saja. Buat apa ada presiden, kalau adanya presiden hanya njengkelin rakyat saja. Di situ kadang saya merasa syedih.
Alam raya ini sudah cukup perih diperkosa membabi buta. Lalu dibunuh dan tidak ada mati-matinya. Melainkan sengsara melebihi kisah Siti Nurbaya. Atau kalau tidak, setelah manisnya dihisap, lalu dibuang di dalam kardus. Seperti halnya kisah bocah tak berdosa di Jakarta itu.
Entah sejak kapan, kuburan sekarang sudah tidak angker lagi. Melainkan seluruh situasi kota mendadak mencekam, dari episode hantu beranak di kuburan, berubah menjadi horor tingkat nasional. Sebab, karyawan dipecat di mana-mana, tapi presiden bilang tidak terjadi apa-apa. Berembus kencang Bank Century dirampok untuk kepentingan partai, nyatanya damai-damai saja. Bapaknya itu malah asyik menikmati sisa-sisa waktu di masa tua.
Begitu pula kontrak Freeport diperpanjang oleh bos asal Amerika, itu kebanggaan pejabat kita. Sedangkan aktivis mahasiswa kita hanya mampu menggonggong di emper DPRD, sembari mengencangkan ikat kepala bak Arya Kamandanu sang pendekar militan. Serasa telah menjadi revolusioner sejati.
Kapitalisme itu memang sialan! Tapi, boro-boro melawan kapitalisme, boro-boro kampanye melawan asap, lhawong melawan kesepian jomblo saja masih tidak mampu. Para jomblo itu memang orang paling sombong di dunia, sok revolusioner menghadapi kesendiriannya. Ndak percaya? Coba tanya Mbah Sujiwo Tedjo.
Kasus kabut asap misalnya. Berdasarkan analisa saya, kabut asap bukan murni kesalahan pemerintah yang tidak tegas saja. Kabut asap juga barangkali bukan murni kesalahan pembakar hutan yang sedang bersengketa. Kabut asap juga bukan murni kesalahan penegak hukum yang tebang pilih memborgol pelaku semata. Tapi siapa tahu, kabut asap itu imbas kesalahan masa lalumu. Dihantui kenangan bodi mantan misalnya. Nah itu, itu akar pemicu keretakan rumah tangga. Jika tidak segera diredam, maka jadilah kabut asap masa lalu yang menggumpal. Jelas sulit diredam, kecuali kembali kepada mantan. Tentu, itu sulit. Tul, sulit pitik.
Kalau sudah begitu, ditetapkan status darurat asap sekalipun sepertinya akan percuma. Asap kok dilawan. Mau dilibas menggunakan pedang sekalipun, makhluk bernama asap itu tidak akan pernah terluka. Coba sesekali belajar kepada perokok yang bersahabat dengan asap. Termasuk bersahabat dengan masa lalu.
Jika jurus 'melawan' tidak mampu, kenapa tidak diganti dengan jurus 'mencintai' saja? Memang sih, mencintai itu memang sakit. Tapi setidaknya, siapa tahu itu bisa menjadi salah satu jembatan penghubung kemesraan alam dan manusia. (*)
Kamis, 12 November 2015
Boro-boro Melawan Asap, Melawan Kesepian Saja Tak Mampu
Jumat, 03 Juli 2015
Berwibawa di Mata Mertua
Suatu ketika, seorang pemuda dengan lantang memamerkan prestasinya yang luar binasa. "Prestasi saya adalah tiga kali gagal ujian CPNS!" kelakarnya percaya diri.
Sejak kegagalannya itu, ia justru seperti orang yang bahagia dini. Bahagia sebelum ia benar-benar sukses. "Saya bersyukur. Sebab, cita-cita saya adalah punya uang dan bisa bangun siang!" tegasnya sembari mengisap rokok di warung kopi.
Kendati demikian, di ubun-ubun keluarga besarnya memandang bahwa tidak sukses hidup seseorang jika tidak bekerja menjadi PNS. Kepanjangannya Pegawai Negeri Sipil! Tahu to?
Bagi keluarganya, PNS merupakan pekerjaan luhur yang harus dipikul duwur dipendem jero. Sebuah ajaran mulia dari nenek moyang yang tidak boleh dibantah. Sekali saja membantah bisa-bisa kuwalat dan kena azab mati dikerubuti belatung. Camkan itu!
Hanya PNS saja yang disebut pekerjaan, lainnya tidak! Tidak ada mantu yang patut diajeni, digugu lan ditiru, kecuali mantu yang menyandang pekerjaan PNS. Yang dimaksud "dadi wong" dalam istilah Jawa itu ya dadi PNS itu. Ngerti enggak sih? Lainnya tidak!
Bahkan segala macam cara bisa ditempuh. Mulai lobi, nyepik janda #eh pejabat BKD kabupaten, ketua partai, anggota dewan, kepala dinas pendidikan, hingga rela menjual harga diri #eh sebidang sawah, tidak masalah. Semua itu hanya agar anak keturunannya berwibawa di mata mertua! Lantas menjadi PNS itulah jawaban satu-satunya.
Maka prinsip selanjutnya adalah bagaimana melakukan manuver kreatif untuk merekayasa nasib. Nyogok dan membayar uang pelicin itu tak masalah! Sah. Bukankah jika tidak bisa masuk melalui pintu depan, masih ada pintu belakang? Masih banyak jalan menuju Roma. Pokoknya harus jadi PNS. Titik.
Ingat bro, nenek moyangmu adalah golongan Aristokrat, golongan priyayi! Bukan dari golongan wong cilik yang sengsara dan banyak utang. Kalau perlu, semua anak cucumu harus menjadi pejabat yang membantu pemerintahan, kerajaan, maupun kesultanan. Jadilah mangkubumi, patih, perdana menteri, maupun hulubalang. Enak to?
Itu satu-satunya pekerjaan mulia, mendedikasikan seluruh nafas hidupnya sebagai kawula atau abdi negara. Bekerja untuk kepentingan sang raja. Saat itulah, anak cucumu akan tetap bergelar Priyayi, Raden, Raden Mas dan pegawai negeri sipil! Jika libur bisa naik kuda, mobil mewah, istri berlimpah, jalan-jalan di mal, butuh uang tinggal bikin proposal Bansos, cairkan APBN/APBD untuk main golf. Bukankah itu pekerjaan yang maha asyik dan mulia?
Hanya orang-orang iri saja yang berceloteh dan sok berkoar-koar kalau PNS itu doktrin kolonial belanda. Hanya orang-orang gagal saja yang menyebut bahwa PNS itu babu-nya negara! Kalian tahu, apa tugas PNS?
"Dari dulu saya tahu, tugas PNS hanya nyusu kepada negara! Tugas PNS hanya ngrepoti rakyat saja!" ujar pria itu.
Memang sulit memahamkan orang-orang gila. Terlebih sulit hidup di tengah orang-orang yang terlanjur bebal! Semacam wabah massal, semuanya menjelma hewan melata. Yang ada di otak dan kepalanya hanya bagaimana agar bahagia dengan hidup enak, makan, berak, beranak dan kawin saja.
"Lantas adakah cita-cita yang lebih hebat selain; punya uang dan bisa bangun siang? Oh, sepertinya tidak ada!" ujar pria itu lantang. Mungkin kurang piknik.
Minggu, 28 Juni 2015
Tentang Ketakutan
Suatu ketika, saya sedang berbincang dengan seorang teman. Terlontar sejumlah pernyataan-pernyataan terkait sebuah permasalahan. Dia sepertinya berusaha menguatkan diri dari kenyataan yang menghantam. "Saya sih tidak takut. Bagaimanapun saya cuek saja!" katanya lantang.
Saya terdiam dan diam-diam memikirkan bahwa apakah benar dia tidak takut. Apa benar dia benar-benar cuek. "Saya akan meninggalkanmu!" imbuhnya.
Semakin saya ragu, apa benar dia bisa "meninggalkanmu". Yang terlintas di pikiran saya justru sebaliknya, bahwa ini adalah keberanian semu. Jelmaan ketakutan-ketakutan yang bersembunyi di balik klaim ancaman "meninggalkanmu".
Sebab, cuek yang sesungguh-sungguhnya ya cuek saja. Tidak menggubris. Diam melangkah tanpa membutuhkan pernyataan-pernyataan. Diam membisu tanpa peduli celoteh apa saja. Itu.
Jika seseorang berteriak "saya tidak takut!" maka yang patut dicurigai adalah bahwa sesungguhnya dia telah mengalami ketakutan itu sendiri. Seperti halnya pernyataan: "saya akan meninggalkanmu, selamat tinggal!" (Hmm....yasudah ngapain mau pergi aja bilang-bilang? #jinguk kwkwkw...)
Sabtu, 27 Juni 2015
Ada Tuhan dalam Secangkir Kopi
Oleh: Robic Ahsan
Minuman kopi adalah manifestasi kehidupan yang dengan tegas saya "imani". Pahit-manis yang menyatu dalam secangkir kopi layaknya sepasang rasa; bahagia dan sedih yang tak terpisahkan dalam hidup.
Di mana ujung bahagia? Jawabnya adalah sedih. Sebaliknya, di mana ujung sedih? maka ujungnya sedih adalah bahagia. Keduanya merupa sepasang proses yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Benar atau tidak, coba renungkan...
Kehidupan selalu menyediakan masa pahit dan manis, bahagia dan sedih. Sepertinya kedua hal itu merupakan keberimbangan yang harus dilewati setiap manusia. Senada dengan Yin Yang, konsep filosofi yang telah berabad-abad lamanya dipercaya oleh masyarakat Tionghoa.
Agar hidup berimbang dan menyenangkan, maka yang diperlukan hanyalah tentang bagaimana cara menikmatinya. Tak ada pilihan lain kecuali menyelaminya, melebur dalam "sedih dan bahagia" dengan tenang. Niscaya, sedih pun akan bisa dinikmati dengan berbahagia.
Selalu menarik ketika membahas secangkir kopi. Saya yakin seyakin yakinnya, bahwa ada tuhan dalam seduan secangkir kopi. Seorang teman menulis status di BlackBerry Messenger miliknya. "Bismillah itu nomor dua, yang pertama menyedu kopi!"
Sekilas, bangsat banget tuh statusnya. Hmm....tapi logis juga, coba tangkap saja nilai humor yang begitu relegius itu. Lagi-lagi ada tuhan dalam secangkir kopi. Tuhan ada di mana-mana.
Saya selalu kangen terhadap budaya ngopi.
Ini memang bukan membahas soal kualitas kopi, sebab negeri ini barangkali sudah "dikutuk" sebagai surganya kopi. Nyaris di setiap penjuru daerah selalu memiliki ciri khas rasa yang bikin kesengsem. Dari sudut pandang kopi inilah, saya bangga hidup di negeri ini. Negeri surganya kopi sekaligus negeri surganya korupsi #eh
Soal korupsi pun tak lepas nongol dalam perbincangan di sekitar gelas kopi. Itu bagian pahit manisnya negeri ini yang mengendap dalam segelas kopi.
Tentu tidak hanya itu, sederet persoalan sosial masyarakat, mulai masalah petani yang gagal panen, hingga muaknya nonton banyolan anggota dewan yang mengeluhkan gaji di layar televisi. Pahit memang, sepahit kata terakhir selepas kau melangkah pergi #ups
Sedih memang, sesedih menerima kabar SEA Games 2015 yang digelar di Singapura. Indonesia (2014) yang konon memiliki jumlah penduduk sebanyak 248 juta jiwa, hanya puas bertengger di urutan kelima.
Tentu saja masih kalah dari negara-negara yang penduduknya jauh lebih kecil. Kisruh dunia Sepakbola Indonesia yang dihukum FIFA tidak boleh mengikuti ajang Internasional apapun. Benar-benar ini contoh baik untuk hal yang buruk. Belum lagi soal jomblo yang selalu menggelinjang ditikam kesepian. Huft, benar-benar pahit kopi ini. Mampus!
Jumat, 19 Juni 2015
Sensasi Kopi Paling Jahat di Semarang
Barangkali banyak tempat nongkrong alias warung kopi dengan berbagai fasilitas menggoda di Kota Semarang. Mulai menawarkan tempatnya yang nyaman, strategis, menyediakan hotspot, sederet istilah menu yang aneh-aneh (bahkan tak dikenal). Tentunya tempat nongkrong tersebut tambah asyik untuk sekedar berbincang menikmati malam dan memunculkan inspirasi-inspirasi baru.
Kali ini, saya ingin berbagi informasi mengenai sensasi warung kopi "paling jahat" di Ngaliyan Kota Semarang. Perlu saya tegaskan bahwa ini hanya sekadar berbagi "informasi", jadi bukan iklan atau promosi. Namun jika kemudian warung kopi tersebut mendadak terkenal, itu bukan salah saya. Bersyukurlah kepada Tuhan Yang Maha Esa, hehe.....
Namanya "Omah Nongkrong", lokasi tepatnya berada di akses jalur menuju Kelurahan Bringin, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, atau kurang lebih 50 meter dari jalan utama Ngaliyan-Boja.
Sensasi warung kopi ini sepertinya berada dalam kualitas racikan kopinya yang cukup berhasil. Pahit dan manis dalam seduan kopinya terasa menghantam. Pengopi belum tentu mampu menghabiskan secangkir kopi ukuran mini. Biasanya, efek yang dirasakan pengopi (yang belum terbiasa) mengakibatkan dada deg-degan dan kepala "nggliyeng".
Teman saya berkomentar: "Ini kopi paling jahat!" Lantas teman satunya menimpali "Mungkin kopi ini terbuat dari kepergian kekasihmu," duh, entah mencomot kalimat dari mana dia.
Tapi memang benar, pahit-manis kopi di "Omah Nongkrong" patut dicoba. Sepertinya tidak ada upaya "aneh-aneh", penjualnya terlihat tidak memodifikasi kopi dengan bermacam-macam bahan. Tampil dengan cangkir mini, kental dengan khas aroma kopi yang menggigit. Selain itu, tidak banyak pilihan jenis kopi di warung sederhana itu. Pelanggan memang hanya diberikan pilihan kopi lelet khas Rembang saja. Sederhana dan tidak banyak gaya.
Lidah saya yang kurang lebih 15 tahun tinggal di Kota Semarang, sering mencicipi kopi di sejumlah tempat nongkrong berbasis kafe di Semarang. Tapi kebetuan, kopi bikinan "Omah Nongkrong", yang pengunjungnya tidak terlalu ramai ini, cukup bisa diterima lidah. Hal lain yang cukup menarik di "Omah Nongkrong" adalah pemandangan kimcil syariah (cewek-cewek berjilbab, Red) yang menggemaskan kwkwwk.
Berbeda halnya jika menikmati kopi di tempat berbasis kafe. Selain harganya menghantam, kualitas kopinya rata-rata kurang memuaskan. Apalagi dibutuhkan merogoh kocek Rp 30 ribu per-cangkir. Lhak yo semena-mena to kui jenenge kwkwkwkw...
Kopi kafe cenderung banyak gaya dengan menggunakan istilah-istilah kurang familier. Mereka seperti memaksa diri untuk berimprovisasi bebas. Rasanya bebas, sekaligus harga juga bebas. Semakin berusaha menampilkan beraneka macam jenis kopi. Tapi justru itu menunjukkan bahwa mereka bukan spesialis kopi.
"Ah, kamu tidak usah mengeklaim sebagai petualang kopi sejati kalau belum pernah menyeruput kopi bersemut," ujar teman sembari mengisap udut.
Kamis, 18 Juni 2015
Juice Congyang Temani Buka Puasa Pertama
Aha....tanda-tanda bulan suci ramadan ternyata bukan dari munculnya hilal. Pertama kali, tanda-tanda datangnya bulan ramadan bisa ditelisik ketika muncul geliat musiman dari polisi yang unjuk gigi merazia minuman keras (miras), gepeng, gelandangan, dedek-dedek seksi di tempat karaoke dan tempat pijat. Biar enggak mengganggu ibadah, katanya.
Selanjutnya, tanda-tanda itu muncul ketika broadcast di BlackBerry Messanger (BBM) Anda sudah mulai 'thang-thung' saling bertabrakan.
"Maaf lahir batin atas salah dan khilaf untuk semuanya. Marhaban ya Ramadan!"
Beranda update status di BBM mulai serempak bertuliskan "Marhaban ya Ramadan!", "Hmmm, indahnya bulan Ramadan!", "Alhamdulillah, masih diberi kesempatan bertemu Ramadan, semoga berkah,". Ada juga yang menulis status: "Tarawih dulu ah biar ganteng!" (Lha po masjid ki mbok anggep salon?) #bedhebah
Pun demikian, tanda-tanda lain yang cukup bisa dijadikan petunjuk untuk mengetahui datangnya bulan ramadan adalah munculnya band-band alay yang kompak bikin lagu religi. Video klipnya berbaju koko dan telapak tangan menengadah seperti hendak melobi tuhan. Para artis cewek mendadak ngislam dengan jilbabnya di layar televisi. Oh...
Saat itulah, saya yakin bahwa republik ini tengah memasuki bulan suci ramadan. Jadi, tak perlu gelisah menunggu bulan sabit muda pertama setelah dilihat melalui konjungsi alias ijtimak para ulama, untuk mengetahui nongolnya bulan baru pada arah dekat matahari terbenam yang menjadi acuan permulaan bulan dalam kalender Islam, diumumkan. Apalagi menggubris pengumuman versi NU atau Muhammadiyah, oh terlalu tradisional.
Tapi begitulah, bulan ramadan memang asyik. Bulan di mana umat Islam berbahagia (kembali) menjernihkan pikiran dan hati. Memahami hakikat manusia yang terlahir dalam keadaan suci, dan di bulan ramadan lah (konon) dosa-dosa kembali diberangus lagi. Setan-setan dikecrek dan dikurung di dalam kerangkeng malaikat. Anak-anak berwajah ceria. Mereka larut dalam kebahagiaan menjalani ibadah di bulan suci (meski terkadang hanya simulasi puasa setengah hari).
Bulan ramadan memang bulan penuh hikmah. Bulan milik orang-orang bahagia yang pamer menu buka puasa di DP BlackBerry Messanger. Bulan milik orang-orang yang bikin spanduk "Hormatilah Orang Puasa!", Bulan milik penjual mercon dan kembang api. Bulan milik copet di stasiun kereta api, terminal, angkot dan pasar tradisional. Bukankah mereka berbahagia bersama di bulan yang sama?
"Kolak pisang nikmat bgt. Buka bersama with my lop...," tulis status BBM teman.
Begitulah kira-kira gambaran kebahagiaan orang puasa. Begitupun saya, mendadak alias tiba-tiba, saya tak mampu menghentikan senyum bahagia saat membaca status teman yang lain:
"Juice Congyang Temani Buka Puasa Pertama."
Saya menangkap humor anti mainstream. Ada kesan, ia berusaha membuat status perlawanan setelah muak melihat lelucon dari golongan pengikut narsisme beragama.
Senin, 15 Juni 2015
Ini Tips Bikin Musik Anti Mainstream
Kreator musik memang memiliki corak dan warna berbeda-beda. Namun untuk memunculkan karakteristik yang kuat terhadap hasil karya seni musik bukanlah hal mudah.
Dalam kaca mata saya selaku pengamat sekaligus pemusik (yang tidak terkenal hehe), selama 2015 saja ada ratusan, bahkan mungkin tembus ribuan karya musik baru di Indonesia. Baik band yang (konon) bertaraf nasional, maupun band-band indie yang lahir mandiri di setiap perkotaan, subur bak tumbuhnya jamur.
Namun bukan berarti semua musik yang lahir tersebut tidak berkualitas. Berdasarkan penelusuran yang sering saya lakukan melalui YouTube, tak jarang saya menemukan musisi-musisi indie di Indonesia yang berbakat, hebat dan memiliki daya tarik luar biasa. Namun band-band yang hanya Asbun (asal bunyi, Red) pun tak kalah luar biasa banyaknya.
Barangkali saja mereka sudah cukup puas bisa meluapkan emosi melalui lagu-lagu karyanya. Yang penting menjadi karya seni musik meski asal bunyi. Sehingga tak sempat memikirkan bagaimana berupaya menciptakan lagu yang sedikit berkualitas, berisi, berkarakter, unik dan kreatif. Wah berat banget kwkwk....
Kebanyakan hasil karya seni musik yang lahir dari tangan para musisi merupakan musik mainstream, alias musik normal dan biasa-biasa saja. Artinya jarang ada musik yang memiliki kejutan-kejutan baru, apalagi mengarah ke istimewa. Rata-rata, para pemusik kita terjebak dalam arus utama (mainstream). Mereka lebih cenderung menirukan musik yang pernah dilihat atau musik yang dijadikan acuan. Bukan terinspirasi, kemudian membuat karya musik "tandingan" yang berbeda dan lebih kreatif.
Nah, dalam kesempatan ini, saya terlintas untuk menulis dan membagikan tips atau cara bagaimana menggubah sebuah karya seni musik yang "anti mainstream". Musik yang (berusaha) unik, musik yang bergerak, musik yang berinovasi, berkarakter dan musik yang bernyawa. Tentu, musik yang berbeda dari musik-musik sebelumnya.
Inilah tips-tips yang harus Anda lakukan:
1) Eksperimen
Eksperimen bisa menjadi kunci untuk melahirkan hal-hal baru tentang karya musik Anda. Jika seorang komposer ataupun musisi terus mengasah keberanian dengan cara melakukan eksperimen, maka yang terbentuk adalah inovasi-inovasi baru. Memang tidak mudah, namun setidaknya ada keberanian mencoba temuan-temuan ide baru. Setelah memastikan menemukan temuan unsur tersebut dan bisa dimasukkan ke dalam musik Anda, silakan patenkan agar menjadi ciri khas musik garapan band Anda. Ingat, kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk karakter.
Contoh Eksperimen: misalnya Anda menemukan ide, dan terinspirasi saat mendengarkan bit musik tradisional jaran kepang. Lalu Anda tertarik, kemudian mengadopsi, mengolah menggunakan pola bit atau ketukan jaran kepang tersebut ke dalam permainan drum. Maka bit drum lagu barumu itu bakal berbeda dengan karya sebelumnya. Temuan.
Telinga pendengar cenderung asing saat mendengarkan bit jaran kepang tersebut, melalui inovasi, modifikasi permainan drum. Bahkan orang Jawa sendiri asing dengan bit jarang kepang. Nah, orang barat saja saya yakin tidak mengenal bit itu. Orang mainstream (musisi jadul) akan cenderung meniru musik barat. Sebaliknya, kalau anti mainstream, maka perkenalkanlah kekayaan musik tradisi di sekitarmu melalui karya musik dengan corak kreativitas kekinianmu.
2) Kontradiktif
Masukkan unsur kontradiktif ke dalam arransemen musikmu. Kontradiktif yang dimaksud adalah memasukkan dua unsur yang berlawanan menjadi satu kesatuan. Kontradiktif bisa berasal dari manapun. Baik audio, visual, bunyi, alat, maupun lirik.
Contoh simpel: coba bikin arransemen rock 4 bar, full distorsi yang garang, lalu masukkan melodi suling. Telinga normal cenderung terkejut. Ini hanya contoh. Masih banyak ide yang lain. Unsur kontradiktifnya adalah karakter gitar "distorsi" dan suling (berlawanan).
Dalam hal lain, misalnya; cewek berjilbab gitaris rock. "Berjilbab" dan "rock" adalah unsur kontradiktif. Jika hanya "cewek gitaris rock" saja, itu mainstream alias biasa, tidak unik.
3) Uji Validitas
Saya menulis tips ini juga dalam upaya eksperimen (Eksperimen menulis tips kwkwkw). Tapi saya kira tidak ada salahnya bro, mari uji kebenaran teori di atas dengan daya eksperimen kita masing-masing. I Love Musik Indonesia!
Jumat, 12 Juni 2015
Revolusi Santet Massal, hingga Bunuh Diri Nasional
Budaya nongkrong, kumpul-kumpul, memang membuat kecanduan. Mulai geng anak muda di perkampungan, bapak-bapak tanpa organisasi di warung kopi, organisasi masjid, mahasiswa, pekerja, enggak lelaki, perempuan, perawan, janda maupun siapa saja, tak melewatkan moment harian bernama nongkrong. Selain asyik, nongkrong juga menyehatkan pikiran ketimbang menjadi generasi murung yang takut masa depannya suram.
Berbagai macam tema diskusi spontanitas tak jarang berseliweran. Ngalor-ngidul, mulai nggosip koalisi para jomblo kesepian yang ngomongin strategi mbribik adik-adik semester dua, pernikahan Gibran Rakabuming Raka dan Selvi Ananda, isu beras plastik, gegernya ijazah palsu, hingga bagaimana revolusi yang sadisnya maksimal.
Berbagai macam tempat nongkrong bisa jadi pilihan. Mulai kedai kopi paling serius, kafe remang-remang, lesehan trotoar, warung kopi tradisional, hingga teras kos-kosan. Serasa hidup bebas di negeri benar merdeka. Kalau sudah begini mah enggak perduli di luar sana cicak-buaya adu kesaktian. Sementara koruptor asyik berebut duit APBD.
Bagi saya, bagi saya lho, angkringan (sego kucing atau kucingan, istilah di Semarang) adalah republik tanpa konsep yang dihuni orang-orang bahagia. Rasane hmmm,,, mung Dek Selvi sing ngerti perasaanku mbengi iki. #eh
Sego Kucing seperti republik kecil yang berada di depan gapura surga. Tak ada tuding menuding dan lempar melempar kesalahan, tak ada yang sok paling beragama. Adanya jamaah jomblo kesepian yang saling berbagi kepahitan dan kadang petugas Satpol PP bawa pentungan #ups...keceplosan.
Intinya, nongkrong di kucingan memang mengasyikkan, meski stabilitas isi dompet nyaris blong-blongan. Kalau Mahasiswa masuk Starbucks Coffe ya keren juga. Duduk dengan gaya orang kaya, tenang dan tampil elegan. Sesampai kamar kos kepalanya pusing--siapa lagi target sasaran utangan. Wah, kalau faktanya begitu jangan bilang kalau kamu mahasiswa UIN Walisongo Semarang lho. Apalagi bilang aslinya Kepil Wonosobo. Duh, betapa tercorengnya muka dunia persilatan.
Oh tidak, mestinya kita tidak perlu terpengaruh status apapun. Mau miskin, mau kaya, mau DO, mau Sarjana, mau jomblo, mau lulus semester empat belas, enggak urusan, yang paling penting mari ciptakan inspirasi-inspirasi. Jadilah republik ceria yang sanggup hidup di abad kekacauan sekalipun. Sebab dengan begitu, rakyat bisa bahagia tanpa harus nyusu kepada negara.
Itu termasuk revolusi. Ha mbok yao kalau mau revolusi tu ya ndak hanya demo-demo thok, itu mah enggak cerdas. Revolusi kok hanya menggonggong di depan halaman kantor DPRD, mesti rak mempan. Revolusi tuh yang ekstrim! Gagah dan berwibawa. Santet massaaaaaaal......, bunuh diri nasionaaaaaal (xixi, itu kata Cak Nun).
Salam....
Robic Ahsan
Kamis, 11 Juni 2015
Jangan Sebut Saya Lelaki Sejati Kalau Mati Berkalang Skripsi
Ketika mengetik tulisan ini, posisi saya sedang duduk manis di teras kios kelontong di sebuah pasar tradisional. Saya mengetik tulisan yang sedang Anda baca ini menggunakan handphone. Pemandangan di depan saya adalah lalu lalang orang-orang, kurang lebih pukul sepuluh siang.
Ini murni curhat. Curhat soal mantan #eh. Bukan, bukan, maksudku ini curhat soal anti kemapanan. Kebetulan, saya saat ini berstatus belum mapan. Bagaimana tidak, lhawong sampai saat ini status saya masih mahasiswa (yang tak kunjung nikah #ups wisuda maksud saya). Tapi belum semester 14 kug, jalan masihlah panjang untuk ditempuh. Jadi teringat, tagline pembelaan yang barangkali pas untuk kamu-kamu yang bernasib serupa dengan saya--adalah "hindari wisuda usia dini!" kwkwkw....
Tapi jangan salah. Bukan berarti saya adalah orang yang malas berpikir. Bukan, sumpah bukan. Justru saya adalah orang yang mudah tertarik melakukan penelitian. Bahkan, apa-apa yang terjadi di sekeliling saya, langsung saya tangkap (kecuali calon mertua #eh). Soal validitasnya bagaimana, metode ilmiahnya bagaimana, teknik pengumpulan datanya bagaimana, itu mah terserah bapakmu mau menerima saya lagi atau tidak #halah...
Misalnya, aktivitas apa yang dilakukan mahasiswa saat pertama kali bangun dari tidur? Ternyata jawabannya adalah memegang handphone. Sudah saya renungkan di bawah pohon kresen dalam kesunyian yang sempurna. Termasuk melakukan survey terhadap 10 mahasiswa. Hasilnya, sebanyak 9 dari 10 mahasiswa tersebut membenarkan bahwa aktivitas kali pertama saat bangun dari tidur adalah memegang handphone. 1 orang mengaku memegang Anu. Duh...
Kenapa memegang handphone? Apakah memantau berita terkini pagi ini, update twitter, facebook, path, instagram, atau apa? Oh, ternyata tidak semuanya. Hal pertama yang dicek adalah pesan masuk. Menurut 9 dari 10 orang yang saya teliti, alasan mengecek pesan masuk baik di SMS maupun BBM adalah mengecek apakah ada ucapan selamat pagi dari cewek gebetan, atau tidak.
Celakanya, 9 orang yang menjawab demikian, 90 persen di antaranya menahan kecewa mendalam. Sebab, pesan dari kekasih pujaan hati seperti yang diharapkan ya tinggal harapan palsu sepalsu-palsunya. Pesan yang nongol justru SMS dari operator telekomunikasi.
"Plg Yth, paket BlackBerry Anda telah berakhir. Selanjutnya akan dikenakan tarif normal. Aktifkan kembali paket Flash Anda di *363#." Bedebah kuadrat to kui jenenge..
Karena seringnya melakukan penelitian seperti itulah, saya kemudian diuji untuk tidak segera menyelesaikan skripsi.
Daripada mumet mikir kamu (eh maksudku menyelesaikan skripsi), mending mengantar ibu saya belanja di pasar tradisional. Mben terkesan ono aktivitas. Ibu saya memang sering bengong saat melihat saya cengar-cengir sendiri, kebal-kebul sendiri, berlagak seperti Robert Downey Jr ketika berperan sebagai detektif Sherlock Holmes yang bersenjatakan cerutu. Sembari lantang berkata; jangan sebut saya lelaki sejati jika harus mati berkalang skripsi!
Ngopi sik bro mben ra emosinan.....
Robingul Ahsan
Langganan:
Postingan (Atom)