Jumat, 12 Juni 2015
Revolusi Santet Massal, hingga Bunuh Diri Nasional
Budaya nongkrong, kumpul-kumpul, memang membuat kecanduan. Mulai geng anak muda di perkampungan, bapak-bapak tanpa organisasi di warung kopi, organisasi masjid, mahasiswa, pekerja, enggak lelaki, perempuan, perawan, janda maupun siapa saja, tak melewatkan moment harian bernama nongkrong. Selain asyik, nongkrong juga menyehatkan pikiran ketimbang menjadi generasi murung yang takut masa depannya suram.
Berbagai macam tema diskusi spontanitas tak jarang berseliweran. Ngalor-ngidul, mulai nggosip koalisi para jomblo kesepian yang ngomongin strategi mbribik adik-adik semester dua, pernikahan Gibran Rakabuming Raka dan Selvi Ananda, isu beras plastik, gegernya ijazah palsu, hingga bagaimana revolusi yang sadisnya maksimal.
Berbagai macam tempat nongkrong bisa jadi pilihan. Mulai kedai kopi paling serius, kafe remang-remang, lesehan trotoar, warung kopi tradisional, hingga teras kos-kosan. Serasa hidup bebas di negeri benar merdeka. Kalau sudah begini mah enggak perduli di luar sana cicak-buaya adu kesaktian. Sementara koruptor asyik berebut duit APBD.
Bagi saya, bagi saya lho, angkringan (sego kucing atau kucingan, istilah di Semarang) adalah republik tanpa konsep yang dihuni orang-orang bahagia. Rasane hmmm,,, mung Dek Selvi sing ngerti perasaanku mbengi iki. #eh
Sego Kucing seperti republik kecil yang berada di depan gapura surga. Tak ada tuding menuding dan lempar melempar kesalahan, tak ada yang sok paling beragama. Adanya jamaah jomblo kesepian yang saling berbagi kepahitan dan kadang petugas Satpol PP bawa pentungan #ups...keceplosan.
Intinya, nongkrong di kucingan memang mengasyikkan, meski stabilitas isi dompet nyaris blong-blongan. Kalau Mahasiswa masuk Starbucks Coffe ya keren juga. Duduk dengan gaya orang kaya, tenang dan tampil elegan. Sesampai kamar kos kepalanya pusing--siapa lagi target sasaran utangan. Wah, kalau faktanya begitu jangan bilang kalau kamu mahasiswa UIN Walisongo Semarang lho. Apalagi bilang aslinya Kepil Wonosobo. Duh, betapa tercorengnya muka dunia persilatan.
Oh tidak, mestinya kita tidak perlu terpengaruh status apapun. Mau miskin, mau kaya, mau DO, mau Sarjana, mau jomblo, mau lulus semester empat belas, enggak urusan, yang paling penting mari ciptakan inspirasi-inspirasi. Jadilah republik ceria yang sanggup hidup di abad kekacauan sekalipun. Sebab dengan begitu, rakyat bisa bahagia tanpa harus nyusu kepada negara.
Itu termasuk revolusi. Ha mbok yao kalau mau revolusi tu ya ndak hanya demo-demo thok, itu mah enggak cerdas. Revolusi kok hanya menggonggong di depan halaman kantor DPRD, mesti rak mempan. Revolusi tuh yang ekstrim! Gagah dan berwibawa. Santet massaaaaaaal......, bunuh diri nasionaaaaaal (xixi, itu kata Cak Nun).
Salam....
Robic Ahsan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar