Barangkali banyak tempat nongkrong alias warung kopi dengan berbagai fasilitas menggoda di Kota Semarang. Mulai menawarkan tempatnya yang nyaman, strategis, menyediakan hotspot, sederet istilah menu yang aneh-aneh (bahkan tak dikenal). Tentunya tempat nongkrong tersebut tambah asyik untuk sekedar berbincang menikmati malam dan memunculkan inspirasi-inspirasi baru.
Kali ini, saya ingin berbagi informasi mengenai sensasi warung kopi "paling jahat" di Ngaliyan Kota Semarang. Perlu saya tegaskan bahwa ini hanya sekadar berbagi "informasi", jadi bukan iklan atau promosi. Namun jika kemudian warung kopi tersebut mendadak terkenal, itu bukan salah saya. Bersyukurlah kepada Tuhan Yang Maha Esa, hehe.....
Namanya "Omah Nongkrong", lokasi tepatnya berada di akses jalur menuju Kelurahan Bringin, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, atau kurang lebih 50 meter dari jalan utama Ngaliyan-Boja.
Sensasi warung kopi ini sepertinya berada dalam kualitas racikan kopinya yang cukup berhasil. Pahit dan manis dalam seduan kopinya terasa menghantam. Pengopi belum tentu mampu menghabiskan secangkir kopi ukuran mini. Biasanya, efek yang dirasakan pengopi (yang belum terbiasa) mengakibatkan dada deg-degan dan kepala "nggliyeng".
Teman saya berkomentar: "Ini kopi paling jahat!" Lantas teman satunya menimpali "Mungkin kopi ini terbuat dari kepergian kekasihmu," duh, entah mencomot kalimat dari mana dia.
Tapi memang benar, pahit-manis kopi di "Omah Nongkrong" patut dicoba. Sepertinya tidak ada upaya "aneh-aneh", penjualnya terlihat tidak memodifikasi kopi dengan bermacam-macam bahan. Tampil dengan cangkir mini, kental dengan khas aroma kopi yang menggigit. Selain itu, tidak banyak pilihan jenis kopi di warung sederhana itu. Pelanggan memang hanya diberikan pilihan kopi lelet khas Rembang saja. Sederhana dan tidak banyak gaya.
Lidah saya yang kurang lebih 15 tahun tinggal di Kota Semarang, sering mencicipi kopi di sejumlah tempat nongkrong berbasis kafe di Semarang. Tapi kebetuan, kopi bikinan "Omah Nongkrong", yang pengunjungnya tidak terlalu ramai ini, cukup bisa diterima lidah. Hal lain yang cukup menarik di "Omah Nongkrong" adalah pemandangan kimcil syariah (cewek-cewek berjilbab, Red) yang menggemaskan kwkwwk.
Berbeda halnya jika menikmati kopi di tempat berbasis kafe. Selain harganya menghantam, kualitas kopinya rata-rata kurang memuaskan. Apalagi dibutuhkan merogoh kocek Rp 30 ribu per-cangkir. Lhak yo semena-mena to kui jenenge kwkwkwkw...
Kopi kafe cenderung banyak gaya dengan menggunakan istilah-istilah kurang familier. Mereka seperti memaksa diri untuk berimprovisasi bebas. Rasanya bebas, sekaligus harga juga bebas. Semakin berusaha menampilkan beraneka macam jenis kopi. Tapi justru itu menunjukkan bahwa mereka bukan spesialis kopi.
"Ah, kamu tidak usah mengeklaim sebagai petualang kopi sejati kalau belum pernah menyeruput kopi bersemut," ujar teman sembari mengisap udut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar