Kamis, 12 November 2015

Boro-boro Melawan Asap, Melawan Kesepian Saja Tak Mampu


Oleh: Robic Ahsan

Entah sejak kapan tanah negeri ini ditumbuhi jamur Animisme dan Dinamisme yang begitu kuat.
Ketika masyarakat masih sangat kental memercayai betapa pohon-pohon, batu, sungai dan gunung, bersemayam roh.

Contohnya sampai saat ini, meski konon katanya sudah memasuki zaman post modern--zaman digital dan akal sehat, ternyata fakta manusia penjaga pohon dan tiang listrik tetap saja ada. Mereka adalah segelintir manusia yang gila jabatan. Baik yang cuma iseng adu nasib sebagai calon legislatif maupun bernafsu sebagai sosok wali kota.

Wajahnya kerap nongol setelah dimodifikasi menggunakan teknologi photoshop, yang laki-laki berpeci, yang perempuan berjilbab. Sepertinya mereka hendak menegaskan kepada masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol relegiusitas--Islam tulen. Tak jarang, para penjaga pohon itu juga mencatut gambar sejumlah tokoh besar macam Soekarno sang nasionalis legendaris itu. Ataupun mencatut sosok Gus Dur, sang kiai mbeling sekaligus mantan presiden RI dengan simbol ke-NU-an-nya.

Seolah-olah para penjaga pohon itu hendak menjebak masyarakat demi mendapatkan keuntungan pribadi. Tokoh-tokoh besar itupun dicatut demi mencuri simpati publik. Tapi, sepertinya kita tetap perlu memberi apresiasi dengan mengucapkan "selamat datang" wahai kaum kapitalis. Meski mereka tak jarang membuat perut mules dan juga merusak lingkungan tersebut. Bagaimana tidak, kota sudah terlalu kotor dengan adanya hutan reklame. Masih juga ditambahi fenomena sampah foto-foto penjaga pohon tersebut.

Tapi setidaknya itu bisa menghibur para pengendara jalanan yang terlalu cerewet seperti halnya saya. Memang, jujur saja seringkali memaki meski itu di dalam hati manakala melihat narsisnya foto-foto para penjaga pohon.

Sebab, fenomena berikutnya nanti adalah ketika para mantan penjaga pohon itu kemudian masuk daftar terdakwa korupsi di depan ruang persidangan. Di situ kadang saya merasa syedih.

Bagaimana tidak, saat mengenakan pakaian tahanan pun mereka tetap berpeci dan dengan sambil santai melambaikan tangan menyapa masyarakat Indonesia di depan kamera wartawan. Sepertinya itu memang lelucon di negeri katuliswa. Ada juga yang tidak terima ditetapkan tersangka, kemudian berdalih keadilan mengaku menjadi korban kriminalisasi.

Mungkin, akibat kelakuan manusia nakal itulah, generasi pemuda di negeri kaya ini mudah stres, terombang-ambing, sulit cari pekerjaan dan mudah galau tingkat nasional. Atau sebaliknya, kondisi itu membuat generasi cuek. Selama masih bisa merokok dan nongkrong di warung kopi, semua aman-aman saja. Kaum seperti ini memang mudah bahagia. Malah, berpikiran bahwa buat apa ada negara, kalau adanya negara hanya ngrepotin rakyat saja.

Buat apa ada istilah dewan perwakilan rakyat, kalau adanya dewan perwakilan rakyat hanya nyusahin rakyat saja. Buat apa ada presiden, kalau adanya presiden hanya njengkelin rakyat saja. Di situ kadang saya merasa syedih.

Alam raya ini sudah cukup perih diperkosa membabi buta. Lalu dibunuh dan tidak ada mati-matinya. Melainkan sengsara melebihi kisah Siti Nurbaya. Atau kalau tidak, setelah manisnya dihisap, lalu dibuang di dalam kardus. Seperti halnya kisah bocah tak berdosa di Jakarta itu.

Entah sejak kapan, kuburan sekarang sudah tidak angker lagi. Melainkan seluruh situasi kota mendadak mencekam, dari episode hantu beranak di kuburan, berubah menjadi horor tingkat nasional. Sebab, karyawan dipecat di mana-mana, tapi presiden bilang tidak terjadi apa-apa. Berembus kencang Bank Century dirampok untuk kepentingan partai, nyatanya damai-damai saja. Bapaknya itu malah asyik menikmati sisa-sisa waktu di masa tua.

Begitu pula kontrak Freeport diperpanjang oleh bos asal Amerika, itu kebanggaan pejabat kita.  Sedangkan aktivis mahasiswa kita hanya mampu menggonggong di emper DPRD, sembari mengencangkan ikat kepala bak Arya Kamandanu sang pendekar militan. Serasa telah menjadi revolusioner sejati.

Kapitalisme itu memang sialan! Tapi, boro-boro melawan kapitalisme, boro-boro kampanye melawan asap, lhawong melawan kesepian jomblo saja masih tidak mampu. Para jomblo itu memang orang paling sombong di dunia, sok revolusioner menghadapi kesendiriannya. Ndak percaya? Coba tanya Mbah Sujiwo Tedjo.

Kasus kabut asap misalnya. Berdasarkan analisa saya, kabut asap bukan murni kesalahan pemerintah yang tidak tegas saja. Kabut asap juga barangkali bukan murni kesalahan pembakar hutan yang sedang bersengketa. Kabut asap juga bukan murni kesalahan penegak hukum yang tebang pilih memborgol pelaku semata. Tapi siapa tahu, kabut asap itu imbas kesalahan masa lalumu. Dihantui kenangan bodi mantan misalnya. Nah itu, itu akar pemicu keretakan rumah tangga. Jika tidak segera diredam, maka jadilah kabut asap masa lalu yang menggumpal. Jelas sulit diredam, kecuali kembali kepada mantan. Tentu, itu sulit. Tul, sulit pitik.

Kalau sudah begitu, ditetapkan status darurat asap sekalipun sepertinya akan percuma. Asap kok dilawan. Mau dilibas menggunakan pedang sekalipun, makhluk bernama asap itu tidak akan pernah terluka. Coba sesekali belajar kepada perokok yang bersahabat dengan asap. Termasuk bersahabat dengan masa lalu.

Jika jurus 'melawan' tidak mampu, kenapa tidak diganti dengan jurus 'mencintai' saja? Memang sih, mencintai itu memang sakit. Tapi setidaknya, siapa tahu itu bisa menjadi salah satu jembatan penghubung kemesraan alam dan manusia. (*)